Manajemen Negara Amburadul


Tak mudah jadi Presiden Republik Indonesia di era jadul seperti ini. Hak-haknya dipreteli oleh undang-undang produk baru, sementara kewajibannya seabrek dan bertambah banyak. Bahkan Indonesia kini boleh dicatat; dengan dalil otonomi, provinsi dan daerah seperti negara dalam negara. Tak heran kalau bupati-bupati sekarang ini jadi raja-raja kecil ala dunia kolonialisme dulu.

Ketika penulis bercerita tentang negara ini kepada seorang diplomat senior negara tetangga Singapura, ia berkali-kali tertawa terpingkal-pingkal. Saya bertanya, mengapa Anda tertawa. Dia bilang, negeri Anda lucu. Bagaimana mungkin secara de facto dan de jure, bupati tidak bertanggungjawab kepada Gubernur yang hirarkinya berada di atasnya. Lebih lucu lagi, Gubernur juga tak perlu berikan pertangungjawabannya kepada Presiden. Negari apa yang bernama: Indonesia ini?

Apapun alasannya, menurut UU otonomi daerah bahwa bupati beserta jajarannya hanya bertanggungjawab kepada DPRD, begitu juga Gubernur hanya bertanggungjawab kepada DPRD Provinsi, tidak bisa diterima akal sehat. Adalah cukup berasalasan apabila pejabat di pusat banyak tidak tau apa dan bagaimana pembangunan di dearah, jika mekanismenya seperti itu.

Sebagai rakyat, penulis ingin berbagi pikiran agar kondisi ini diberikan jalan keluar. Manajemen negara harus dikembalikan tanpa merubah hak otonomi daerah, karena pusat punya hak untuk membatalkan peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan kebijakan pusat. Padahal untuk melahirkan Perda, pihak Bupati dan DPRD harus bekerja keras; biaya, pikiran dan waktu panjang dibutuhkan tak sedikit. Kondisi ini sebabkan, negara menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Komando dan manajemen negara pun tak berfungsi dengan baik. Jika kondisi ini dipaksakan terus, resikonya Indonesia akan alami kelambanan proses pembangunan dan tak mampu memecahkan persoalan mendasar bangsa seperti yang selama dikeluhkan banyak orang.

Mestinya, Bupati dan Walikota melakukan pertanggungjawabannya pada sidang paripurna DPRD kabupaten dan kota yang harus dihadiri oleh Gubernur atau setidaknya Wakil Gubernur beserta pimpinan atau anggota DPRD provinsi. Gubernur wajib memberikan catatan atas laporan pertangungjawaban tersebut, bahkan menolaknya jika terdapat hal-hal yang mengganggu mekanisme kenegaraan. Gubernur juga diberikan waktu dalam paripurna untuk memberikan koreksi atau menilai laporan pertanggungjawaban bupati atau walikota. Penulis berharap dengan mekanisme seperti ini saja, posisi Gubernur di mata bupati dan walikota bisa dikembalikan, setelah hilang selama ini. Bayangkan, betapa banyaknya bupati dan walikota menolak hadir undangan rapat sang gubernur dengan alasan yang terkadang dibuat-dibuat.

Begitu juga dengan gubernur. Ia harus mempertanggungjawabkan laporannya dalam sidang paripurna DPRD provinsi yang dihadiri oleh Presiden atau Wakil Presiden, setidaknya dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri beserta anggota atau pimpinan DPR RI/DPD. Presiden berhak memberikan catatan atas laporan pertanggungjawaban sang gubernur. Bahkan presiden berhak untuk merekomendasikan agar pertanggungjawaban tersebut ditolak, karena dianggap mengganggu mekanisme dan program kerja kenegaraan.

Atau bahkan lebih ekstrim lagi. Bupati dan walikota menyampaikan laporan pertanggungjawabannya di sidang paripurna DPRD provinsi, sehingga provinsi lebih tau dan paham tentang daerahnya. Begitu juga gubernur, laporan pertanggungjawabannya harus disampaikan di depan sidang khusus DPR RI di Senayan. Dengan cara seperti ini, pusat menjadi tau soal daerah. Bahkan DPR RI bisa menilai apakah manajemen kenegaraan berjalan dengan baik antara pusat dan daerah.

Penulis berharap dengan mekanisme seperti ini, tidak ada tumpang tindih antara kepentingan pusat, provinsi dan daerah. Bisa dibayangkan, sebuah obyek tinjauan pada suatu daerah bisa menerima tamu berkali-kali dalam sebulan. Tamu pertama dari DPRD kabupaten, minggu kedua tamu DPRD provinsi, minggu ketiga menerima tamu dari DPR RI. Padahal di sela-sela itu tamu dari instansi pemerintah juga datang untuk mengecek dan memeriksa sesuai tugas rutin. Apa jadinya kalau seperti itu. Negara amburadul, ampun deh……!!!!!

Tinggalkan komentar