Pemilukada Kobar Tak Biasa


“MK dan Pemerintah Harus Arif Dalam Menangani Kasus Pemilukada Kobar”

Dari sekian kasus Pemilukada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), kasus Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dianggap paling unik dan rumit sehingga kini saat memasuki kurun waktu 1,5 tahun, Bupati definitif belum juga dapat dilantik.

Cerita bermula saat MK yang selama ini tidak pernah memenangkan salah satu kandidat pasangan calon bupati atau kepala daerah – sesuai iklan layanan masyarakatnya di televisi (sekarang sudah tidak tayang lagi) – telah melanggar komitmennya sendiri dengan mendiskualifikasi pasangan pemenang Pemilukada Kobar dan memenangkan saingannya. Selama ini putusan MK hanya merekomendasikan Pemilukada ulang, seperti yang terjadi pada Pemilukada Tangerang Selatan dan sebagainya beberapa waktu lalu. Keputusan ini membuat beberapa pengamat menilai MK telah melampui kewenangannya.

Akibat keputusan yang tidak biasa ini, MK dipandang telah melempar bola panas kepada Pemerintah sehingga Pemerintah kesulitan untuk melaksanakan eksekusi, mengingat putusan MK adalah bersifat final dan mengikat. Padahal Pemilukada Kobar yang berlangsung pada 11 Juni 2010 telah menghasilkan pemenang dengan perolehan suara 55% atau lebih besar 12 ribu suara dibanding pasangan calon saingannya. Lebih parah lagi, pasangan yang didiskualifikasi MK adalah pasangan yang diunggulkan sebagian besar masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Keputusan MK tersebut pada akhirnya menimbulkan ketersinggungan politik masyarakat Dayak dan kekecewaan pada Pemerintah Pusat. Apalagi ketika dua Dirjen Kemendagri mengantarkan surat perintah kepada Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk melantik calon Bupati yang dimenangkan MK tersebut, awal Agustus silam. Hari yang sama Gubernur Kalteng memerintahkan DPRD Kobar menyiapkan paripurna pelantikan pasangan bupati termaksud.

Tak sampai seminggu kemudian, Ketua DPRD Kobar menolak tegas pelantikan Bupati versi MK. Gubernur Kalteng pun awal September lalu akhirnya dengan tegas menolak melantik calon Bupati versi MK tersebut. Penolakan Gubernur Kalteng bukan semata karena pemenang Pemilukada Kobar adalah satu partai (PDIP), tetapi lebih kepada kondisi politik masyarakat Dayak di Kalteng umumnya dan Kobar khususnya yang memanas dan menyatakan dirinya siap “perang”. Bahkan upacara adat dan mandi ritual masyarakat Dayak, yang lazim dilakukan mereka saat akan berperang, sudah dilakukan sehingga memaksa polisi menambah pasukan pengamanan di wilayah itu.

Masyarakat Dayak Kalimantan bereaksi keras. Apabila pemerintah masih memaksakan kehendak untuk melantik pemenang versi MK, maka masyarakat Dayak akan menuntut hak otonomi khusus. Bahkan mulai terdengar teriakan akan kibarkan bendera Malaysia sebagai pertanda kekecewaan atas kebijakan politik Pemerintah Pusat yang mereka anggap kurang mewakili aspirasi masyarakat ini. Mereka bilang, kalau memang MK bisa melakukan putusan seperti itu, lebih baik Pemilukada tidak diadakan. Jadi para calon bupati nantinya hanya tinggal mendaftarkan diri ke MK, lalu MK-lah yang yang akan memutuskan siapa yang paling pantas menjadi Bupati atau Gubernur. Lumayan, cara seperti ini dapat menghemat waktu dan biaya.

Berkenaan dengan itu, kita perlu menyarankan kepada MK dan Pemerintah Pusat untuk bersikap arif dalam menangani kasus Pemilukada Kobar. Pertimbangannya antara lain, telah dipenjarakannya saksi palsu sidang MK pada kasus Pemilukada Kobar berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seharusnya dalam hal ini MK dapat memahami keadaan dan menggunakan hak-hak yang dimiliki untuk menganulir keputusannya yang melanggar tradisi MK selama ini. Apalagi kemudian 5 (lima) orang saksi lainnya juga mencabut kesaksiannya di MK. Melalui notaris, mereka menyatakan telah berbohong dalam persidangan kasus Kobar di MK. Sebagian besar para saksi yang di bawa ke Jakarta menyebutkan mereka hanya tahu akan diajak jalan-jalan, bukan menjadi saksi pada persidangan di MK. Lebih lanjut menurut para saksi tersebut, bahwa Bambang Widjajanto (calon Ketua KPK)-lah yang mengajari mereka bicara di persidangan. Untuk keperluan tersebut mereka bahkan menjalani pelatihan di sebuah penampungan.

Kita berharap MK bersikap legowo dan membiarkan Pemerintah Pusat melaksanakan hak konstitusinya untuk melantik Bupati pemenang Pemilukada Kobar seperti yang telah dikukuhkan KPU Kobar. Atau, sepakat melakukan Pemilukada ulang di Kobar, sehingga tidak terjadi penodaan hak politik rakyat yang selama ini telah menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia. Sebagaimana diketahui, Indonesia dikenal paling berhasil melaksanakan proses demokrasi dengan azas Pancasila. Karena norma demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang saling menghargai dan sadar hukum serta azas kepatutan. Kalau tidak patut, buat apa dipaksaan, karena tidak ada satu pun manusia yang bisa menerimanya, bahkan jika bertameng hukum sekali pun.

4 pemikiran pada “Pemilukada Kobar Tak Biasa

  1. Memang benar tulisan diatas, dan itulah keadaan yg sebenarnya saat ini di kobar. Pemerintah harus mau tahu ttg keadaan ini, jangan lagi ditambah dengan rencana pengiriman pasukan brimob dari Jateng yg akibatnya membuat keadaan kian mencekam di kobar. Sementara ini sdh mencekam karena aparat gabungan yg berkeliaran sampai ke gang2 kecil. yg terpenting jgn PAKSAKAN melantik calon tertentu, apalagi tidak mengacu pd UU 32 2004. Emangnya negara ini akan dibawa kemana, sementara yg di gembar gembor kan adalah HUKUM sebagai PANGLIMA di negri ini.

    Suka

    • MK yg notabene ktnya sih dia jelmaan Tuhan yg tdk pernah salah, yg percaya berrt calon penghuni NERAKA.
      PILKADA ULANG sbnrnya juga tdk hrs terjd krn sdh jelas pemenangnya itu SUGIAN+EKO SOEMARNO, SUKSES gitu lhoh… knp hrs di aaduk aduk bukankah airnya sdh jernih apakah biar terkontaminasi.
      YA UDAHLAH YG KALAH MUNDUR, dan MK jgn malu utk mengatakan kalau sdh di bohongi, PENJARAKAN AJA YG BERBOHONG, itu barunya namanya NEGARA ADIL MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI….YEEEEEEEEEESSSSSS

      Suka

  2. biar sugianto atau ujang yg jadi bupati tetep aja mereka yang kaya, kalau kami ini tahu apa, dpt susahnya aja. kalau tahu bakalan kaya gini ceritanya mendingan ga nyoblos sekalian.

    Suka

  3. Sama seperti Pilkada Palembang tuh…

    Di Pilkada Palembang, seolah – olah Akil Muchtar dan 8 hakim lainnya “tidak bisa berhitung”, mengabaikan semua fakta2 demi meluluskan keinginan Pemohon. Saya pikir sama seperti Kobar, siapa yang memiliki “kekuasaan” untuk berbuat di jajaran birokrasi?? bukankah incumbent?

    Suka

Tinggalkan komentar